My Profile

My photo
Jakarta and Bandung, Indonesia
Just an engineer who loves what she does and does what she loves (engineering stuffs not included)

My Time

My Living Room


ShoutMix chat widget

Who Visit Me

Kasih Makan Ikan Saya yaa!!

My Followers

Saturday, December 25, 2010

Akhir Sebuah Masa... Ah Masa?!

Para ibu rumah tangga - yang kesehariannya diam di rumah, mengurus tiga sampai lima anak mereka, dan disibukkan oleh perintilan rumah tangga - menangis seada-adanya.

Para pegawai wanita - yang selalu tergesa-gesa kala senja untuk mencapai rumah mereka sebelum Isya - menitikkan air mata.

Ibu-ibu pejabat - yang sering ditinggal bertugas oleh suaminya - kini merasa kehilangan satu-satunya teman di malam-malam tak ada kondangan, arisan, atau undangan reunian.

Malam ini tak seperti malam-malam sebelumnya. Malam ini telah berhasil menghanyutkan perasaan kaum wanita, atau kaum yang berperasaan seperti wanita, atau kaum yang baru saja menjelma jadi wanita. Tua - muda, kaya - sok kaya, semuanya.

22 Desember 2022 bukan lah Hari Ibu biasa. Ini merupakan malam bersejarah bagi semua makhluk yang telah terbiasa dibuai oleh cinta, amarah, suka, lara, dan segala perasaan manusia.

"Aku tak rela semuanya berakhir!" Sumiyati - 40 tahun, profesi penjaga warung - membuncahkan isi hatinya pada sang suami.

"Tenang, Istriku! Tanpanya pun hidup kita akan berlanjut, dan kita akan baik-baik saja kok!" Sumiyanto, suaminya, dengan sabar menenangkan hati istrinya yang seakan terbakar.

"15 tahun aku melewati masa itu, Yanto! Aku tak biasa bila tanpanya!" Air mata jatuh membasahi pipinya. Ingus membasahi bawah hidungnya. Keringat membasahi ketiaknya.

"Kamu kok kaya Alda Risma? Pake 'aku tak biasa' segala?!" Eh... Ada badak ada panda... Dia ngajak becanda.

Pria itu tahu bahwa ia tak dapat menenangkan hati istrinya dalam waktu semalam saja. Ia sangat mencintai istrinya, dan entah bagaimana ia bahagia karena mulai malam ini sebuah era yang telah menjauhkan istrinya darinya hampir setiap malam, akhirnya berakhir.

Lain lagi dengan Anas, anak saudagar beras, usia lima belas, dua kali tinggal kelas. Pada malam itu, ayahnya, Pak Sambas, sedikit lebih tegas.

"Kamu sudah dua kali nggak naik kelas. Mulai malam ini, kamu harus belajar keras! Dan nggak ada lagi cerita kamu nggak naik kelas! Awas!!"

Pak Sambas melotot. Mata Anas berbinar memancarkan tekad bulat.

"Tenang, Papi! Anas nggak akan mengecewakan Papi lagi! Anas akan belajar setengah mati! Karena mulai malam ini, godaan untuk belajar sudah tak ada lagi. Isgon, Papi!! Masa itu telah usai... telah berganti!"

Anas mengepalkan tangannya kuat-kuat. Pak Sambas dengan mantap menepuk-nepuk bahu puteri semata-wayang-nya dari istri keduanya itu. Ia menaruh harapan yang sangat besar agar puterinya itu bisa meneruskan ke perguruan tinggi negeri bergengsi yang uang masuknya berjeti-jeti.

Sebuah masa telah berakhir. Bagi beberapa orang membawa kepedihan mendalam, bagi beberapa lainnya justru membawa kemajuan. Ada yang menangis pilu, ada yang semangatnya terpacu, ada yang tertawa haru, ada yang kesal sampai getok-getok palu.

Selama 15 tahun, masa ini telah menggerogoti jiwa dan pikiran para perempuan. Selama itu pula kaum hawa terjebak dalam penantian. Setiap awal pasti ada akhir. Akhirnya, malam ini semuanya berakhir.

Fitri dan Farrel telah dipastikan akan hidup bahagia selama sisa hidup mereka.

Masa keemasan Cintra Fitri berakhir di season lima belas.

***

Tuesday, November 30, 2010

Black is the New White... Yeah Right!!

Waktu menunjukkan pukul 13.00 gong. Siang lagi bolong, matahari lagi monyong. Saat yang tepat untuk eksis di luaran dong!

Sekarang musim panas. Musim yang sangat ditunggu oleh hampir semua orang yang peduli akan kecantikan dan penampilan. Aku sendiri sudah siap dengan setelan tanktop dan celana pendekku. Gang centil-centilanku sudah beberapa kali menelepon, memastikan aku sudah berangkat. Mereka sudah menungguku di salah satu tempat berjemur paling hits yang biasa kami sambangi di hampir setiap hari libur pada jam-jam bolong begini.

Aku memang agak telat. Tadi aku membantu Mama maskeran. Masker khusus untuk usia 50 tahun ke atas yang selain bisa menghilangkan kerutan, juga bisa menambah intensitas kegelapan. Aku iri pada Mama-ku. Mengapa kulitnya bisa hitam begitu? Ini semua karena Papa-ku. Ia yang kulitnya putih bersih. Papa sih tak pedulian orangnya.

"Sudah dikasih kulit begini, mau diapain lagi?!" Begitulah ia berkilah sekaligus menasehati aku agar tak terlalu pusing memikirkan penampilan.

Sulit sekali untuk membuat kulitku menjadi hitam - apalagi hitam legam. Jika terlalu lama berpanas-panasan, kulitku hanya akan bersemu kemerahan. Memalukan!

Tapi sebenarnya membantu Mama maskeran memang tak terlalu makan waktu lama. Setengah jam lainnya aku habiskan untuk menonton infotainment. Tayangan gosip edisi hari ini nampak sayang untuk dilewatkan karena isinya artis-artis kesukaanku semua! Laudya Cintya Bella, Rianti Cartwright, dan Cut Tari. Aku nge-fans sama mereka soalnya mereka cantik-cantik. Kulitnya hitam legam nyaris tanpa cela. Bibirnya juga kehitaman senada dengan warna kulit wajahnya. Aku sontak berkaca membandingkan wajah mereka dengan wajahku. Bibirku merah sekali! Sialan!

Lalu artis laki-lakinya ada Tenku Wisnu dan Indra Brugman. Mereka kok nampaknya semakin hitam ya? Ah mungkin mereka suntik hitam. Pasti mahal!

Aku ingat sekali, dulu sewaktu aku SD, aku tak sebergaul sekarang. Dulu aku pendiam karena kulit yang putih bersinar ini! Aku membenci kulitku. Ingin rasanya aku mengulitinya dan menguliti kulit Gayatri, temanku yang paling hitam, lalu menempelkan kulit keparatnya itu ke seluruh tubuhku menggantikan kulitku yang putih menjijikkan ini. Gayatri itu orangnya sok! Mentang-mentang memiliki kulit yang paling hitam, kerjaannya pamer di depan semua orang.

Aku juga menyalahkan kulit putihku ini atas ketidakmungkinan diriku mengikuti ajang bergengsi macam Puteri Indonesia yang mengusung persyaratan 3B. Brain aku punya. Behaviour jangan ditanya! Tapi Black? Itu lah yang membuatku tak kunjung lolos dengan suksesnya, bahkan di tahap paling pertama.

Aku baru saja ingin mematikan televisi sebelum pergi. Ah tapi aku mengurungkan niatku, karena tiba-tiba saja ada tayangan berita terkini. Presiden Amerika berkunjung ke Indonesia! Aku bangga sekali. Beliau adalah orang kulit putih pertama yang berhasil menjadi orang nomor satu Amerika. Ya sebagai kaum yang selama ini dianggap hina, akhirnya Mr. Obama berhasil juga memasuki Black House. Keren! Sebagai orang yang berkulit putih, aku bisa merasakan aura-aura kesuksesannya.

Tiba-tiba ponselku berbunyi lagi. Ah aku tersadar aku semakin terlambat. Kulirik jam, jarumnya menunjukkan pukul 13.07. Pasti sudah pada kesal nih, karena kami janjian sejam lalu.

Aku beranjak keluar rumah sesaat setelah aku mematikan televisi yang baru selesai menayangkan iklan kosmetik berjargon "cantik itu hitam" sebagai sponsor acara berita terkini itu. Aku ingin sekali membeli krim itu, namun kabarnya kalau krim penghitam seperti itu tak baik untuk kesehatan kulit. Yah memang, bagi kita orang awam, yang instan-instan itu walaupun menggiurkan namun efeknya siapa yang tahu, kan?! Jadi aku mencoba yang alami saja lah.

Aku pun pergi dengan gemulai, menantang matahari untuk membuatku lebih aduhai.

Monday, November 22, 2010

Ulang Tahun Sweet Seventeen

Frida mengagumi bayangannya di cermin. Ia akan menghadiri pesta ulang tahun sweet seventeen. Karena itulah dia merasa harus berdandan dan bergaya sekeren mungkin.

Semuanya sudah siap... dari gaun hingga makeup.

Pestanya diadakan di sebuah cafe yang memegang tampuk sebagai tempat gaul anak muda masa kini. Maka Frida mempersiapkan semua dengan teliti, jangan sampai ada yang terlewati. Persiapan dilakukan dari jauh-jauh hari.

Frida telah siap dengan hal yang paling penting, setelan. Pilihannya jatuh pada gaun mini berwarna hitam. Bagian atasnya bermodel backless, sehingga memperlihatkan seluruh bagian lengan hingga punggungnya. Bagian bawahnya dihiasi renda yang manis, memamerkan paha hingga ujung jari kakinya.

Jari-jari kakinya dibungkus oleh sepasang sepatu bermotif animal-print. Tak sedikit anak muda masa kini yang menggandrungi motif itu.

Baju dan sepatunya itu dibelinya dari butik yang sedang banyak dibicarakan anak muda masa kini.

Rambutnya disanggul cepol di belakang kepalanya dengan efek-efek sedikit berantakan agar tak terkesan terlalu formal. Tatanan rambut demikian pun memperlihatkan tengkuknya. Tak lupa dilengkapi dengan sentuhan poni model terkini yang menutupi dahi.

Riasannya tak terlalu tebal. Tipis-tipis saja. Sekarang memang sedang musimnya gaya makeup natural. Namun dengan sedikit tambahan glitter di pelipis dan kelopak mata, menambahkan kesan glamor.

Gaya rambut dan riasan seperti ini diulas di majalah gaul anak muda yang menjadi panutan fashion anak muda masa kini.

Tiba-tiba ada seseorang yang mengetuk kamarnya, “Frida, sudah siap?!”

Suara pria itu terdengar tua.

"Budi sudah sampai, tuh... ngejemput!"

Frida menghela napasnya, "Iya sudah!"

Pelan-pelan ia membuka pintu kamarnya dan memasang senyum manis. Ia telah merahasiakan rencana penampilannya ini pada siapapun. Termasuk ke pria bersuara tua itu. Biar jadi kejutan, katanya.

Begitu melihat penampakan Frida secara utuh, Pria yang tadi mengetuk pintu kamar itu ternganga. Matanya terbelalak. Napasnya tersengal.

"A-apa-apaan kamu dandan kayak gini?!"

"Memangnya kenapa? Kan kita mau ke ulang tahun sweet seventeen!" sahut Frida santai nan percaya diri.

"T-tapi yang seventeen itu kan cucu kita!!" sahut pria itu, suami Frida selama 45 tahun, frustasi.

Thursday, October 14, 2010

"Somebody Posted on Your Wall"

Marina Setiawati tengah terpaku pada sebuah situs yang didominasi warna biru. Sudah seminggu, dengan antusias dia selalu mengecek situs jejaringnya itu... setiap hari, setiap waktu. Penyebabnya adalah seorang kenalan baru yang rutin saling bertukar sapa di situ.

Kali ini, ada sebuah notifikasi baru.

Marina mengeklik link yang diberikan. Terbukalah sebuah halaman, berisi tulisan:

"Hai Marina... Nggak menyapa kamu atau dapat kabar dari kamu sehariii saja, sudah bikin aku kangen. Kapan kita bisa ketemu? With love :)"

Marina senyum-senyum sendiri. Dibukanya halaman profil sang pemberi pesan tersebut. Terbukalah sebuah halaman dinding seseorang dengan akun Mario Setyo . Marina menulis di sebuah kotak kosong bertuliskan 'write something'.

"Hai Mario, aku juga kangen. Tapi aku belum bisa ketemu. Iya sama. Sehari nggak ngobrol sama kamu lewat facebook, kayanya nggak lengkap deh :)"

@@@

Mario Setyo senyum-senyum sendiri melihat halaman dinding facebook-nya. Penyebabnya adalah sebuah pesan dari pemilik akun facebook bernama Marina Setiawati.

“Hai Mario. Aku juga kangen. Tapi aku belum bisa ketemu. Iya sama. Sehari nggak ngobrol sama kamu lewat facebook, kayanya nggak lengkap, deh :)"

Mario pun membalasnya dengan meninggalkan pesan di halaman dinding Marina:

“Walaupun kita tak pernah ketemu sebelumnya, aku tahu kita berjodoh. Buktinya, nama kita mirip! Yaah, kita berharap saja, semoga kita bisa cepat ketemu. Hehe... Ada kabar apa?"

@@@

Marina dan Mario, keduanya sedang dilanda asmara maya. Kisah cinta lewat dunia tak nyata. Mereka baru saling menyapa di facebook selama seminggu. Namun hati mereka bisa cepat menyatu.

@@@

Mario baru saja selesai ber-facebook-ria. Dia mengeklik tulisan sign out untuk menyudahinya. Dia beranjak ke ruang makan untuk melepas dahaga. Lalu kembali lagi ke kamarnya untuk mengistirahatkan mata.

Dua jam kemudian, dia terjaga. Hal pertama yang dilakukannya adalah menghampiri laptop-nya. Dengan facebook, tentu saja, sebagai tujuan utama. Tanpa ragu, dia langsung menuju ke akun facebook-nya...

Akun facebook-nya yang lain...

... Marina Setiawati.

Ada notifikasi baru di sana:

“Mario Setyo posted on your wall”.

Dia membuka isinya dan senyum-senyum sendiri membacanya.

Wednesday, August 11, 2010

Kisah Sendu Upik Abu

Malam telah larut bagai kopi yang diseduh. Sepertinya baru tiga jam lalu pukul tujuh. Tak terasa tiga jam kemudian sudah pukul sepuluh.

Macam keberatan bulu mata, bintang-bintang berkedipan dengan centilnya. Sekarang bintang-bintang itu dikalahkan oleh semburat kelap-kelip yang jauh lebih meriah dan berwarna. Kelipnya membentuk formasi seperti kembang bermekaran di langit. Bukan kembang melati, bukan pula Raflesia Arnoldi... itu adalah kembang api!

Dari penampakan muncratan kembang api yang hingar-bingar itu, bisa dipastikan bahwa itu bukanlah kembang api beli di pasar baru, melainkan yang harganya beratus-ratus ribu, diimport langsung dari negeri Tirai Bambu. Yang mampu membeli kembang api semacam itu, tentu saja keluarga istana: raja, permaisuri, serta keturunannya, yang masuk dalam kartu keluarga (berarti tak termasuk para selir siri).

Kemeriahan semacam itu terjadi karena Pangeran sedang mengadakan pesta meriah di istana. Pesta ulang tahun, katanya. Padahal ulang tahunnya sudah lewat beberapa minggu lalu. Yah namanya juga anak raja, sah-sah saja mengadakan pesta apapun jua, asal tidak pakai uang negara.

Karena pesta besar-besaran itu pulalah, sontak jalanan dibuat macet padet rapet singset. Sudah barang tentu kemacetan ini melanda karena nyatanya keluarga istana tinggal di Cikeas. Jadi perjalanan mereka ke istana, belum lagi ditambah iring-iringan dan tamu – baik undangan maupun selundupan, memenuhi jalanan protokol. Menyebabkan macet... cet... cet... crett!

Pesta di istana sangat meriah nan penuh tawa. Namun bagaikan Chicago dan Cikaso, bagaikan Perancis dan Ciamis, kondisinya sangat jauh berbeda antara suasana di istana nan ceria dengan rumah Upik Abu nan sendu.

Di rumah, Upik Abu (yang memiliki panggilan sayang ‘Pipi’ atau kadang-kadang ‘Mimi’ dari ayah dan ibu kandungnya) sedang sedih. Kesedihannya itu perihal tak diperbolehkannya ia pergi ke istana untuk menghadiri pesta Pangeran. Tentu saja oknum yang terkait atas tak diperbolehkannya Upik Abu untuk pergi adalah ibu tiri dan kedua kakak tirinya, kita panggil saja Kakak Pertama dan Kakak Kedua.

Mereka memang dari dulu suka sama Upik Abu... suka iri, suka dengki, suka keki. Sewaktu ayah Upik Abu masih ada, mereka terlihat menunjukkan kasih sayang dan perhatian pada Upik Abu. Namun tentu saja itu hanya sandiwara belaka. Semua berubah saat ayah Upik Abu pergi. Beliau pergi untuk tujuan yang mulia... mengadu nasib ke kota. Di sana beliau sedang berjuang mengikuti ajang Kota Mencari Bakat, dengan bakat andalannya memasak sambil bergaya binal. Dan sekarang sudah sampai babak final.

Alih-alih diizinkan untuk pergi bersenang-senang, Upik Abu malah dikurung di rumah dan disuruh untuk mengerjakan pekerjaan rumah, dari menyapu, mengepel, cuci baju, cuci piring, sampai mengerjakan PR Biologi Kakak Pertama dan PR Fisika Kakak Kedua.

“Itu kan pekerjaan rumah juga!” kedua kakaknya berargumen. Pintar juga kedua kakak tirinya. Pintar kodek, sambil godek-godek.

Pergilah gerombolan ibu dan kakak-kakak tiri dengan meninggalkan setumpuk pekerjaan dan segores kepiluan dalam hati Upik Abu.

“Mengapa nasibku begini, mengapa ku ditinggal pergi...?” sembari beberes, Upik Abu bersenandung cenderung ngawih lirih. Walupun terkesan mistis, namun percayalah, ini sedih!

Namun tak dinyana, senandung lirih Upik Abu menarik perhatian seseorang... atau lebih tepatnya sesuatu.

Karena tiba-tiba... Trlliiiing!!

Sesosok wanita muncul di hadapan Upik Abu. Wanita itu bergaun putih, namun bukan Neng Kunti, dan memegang tongkat sakti, namun bukan Nirmala temannya Oki. Parasnya cantik. Tatapannya pun teduh, seteduh pohon pisang di kebon Mas Anang, tetangga sebelah. Wajahnya mengingatkan Upik Abu akan bintang sinetron. Upik Abu berpikir keras demi mengingat siapakah sosok bintang sinetron itu.

Sedetik... Dua detik... Dua puluh detik...

Upik Abu masih terpekur dalam pikirannya. Sang wanita bergaun putih sudah tak sabar ingin langsung mengatakan tujuannya.

“Anu...” katanya hati-hati, takut membuyarkan konsentrasi.

“Weeiisss... sutt... suuttt!!!” Upik Abu menepisnya. Dia tak ingin konsentrasinya terganggu.

Dua puluh satu detik... Tiga puluh detik... Akhirnya...

“Aha! Ayu Azhari!!” sembari manggut-manggut, akhirnya Upik Abu dapat mengingat sebuah nama yang dari tadi sudah ada di ujung lidahnya itu. “Kamu kok mirip doi di sinetron Bidadari?” Upik Abu menelurkan pertanyaan retorika belaka, yang tak tahu harus dijawab apa oleh si wanita.

Si wanita bergaun putih hanya bengong. Agak menyesal rasanya menghampiri gadis labil itu. Namun terlanjur basah, ya sudah mandi sekali. Di depan orang kau tega memfitnah aku. Bukankah fitnah...

“Ehem!” Upik Abu berdehem kencang membuyarkan lamunan sang wanita tak berkalung sorban itu.

“Eh maaf,” wanita itu tersadar dari bengongnya. Tak dinyana, secara tiba-tiba aura Meggy Z menjalari sukmanya.

“T-tapi s-siapa kau?” tanya Upik Abu terbata-bata. Dia baru sadar bahwa dia harus takut, menghadapi sesosok entah-manusia-entah-bukan yang berdiri di depannya.

“Aku adalah Peri Baik Hati!” jawab si perempewi... eh perempuan.

“M-mana ada orang baik ngaku baik?” tanya Upik Abu tak percaya. “Buktikanlah buktikan, coba buktikan kepadaku!”

Sang wanita berambut panjang itu rupanya tertantang dengan tantangan yang menantang itu.

“Baiklah, untuk membuktikan bahwa aku peri yang memang baik hatinya, kamu mau minta apa? Pasti aku berikan,” tantang Peri Baik Hati.

Upik Abu berpikir. Apa yang sekiranya bisa dimintanya untuk membuktikan bahwa sesosok perempuan di depannya ini adalah benar Peri Baik Hati seperti yang dikatakannya.

“Hmmm... berhubung aku sedang mengalami cobaan yaitu harus menyelesaikan semua pekerjaan rumah hanya dalam waktu semalam, coba kau bantu aku membereskan semuanya... Itu kalau kau benar-benar peri!” Upik Abu menantang.

Wanita yang mengaku peri itu hanya tersenyum tulus, lalu mengacungkan anunya, memutar-mutarkannya, dan menghentakkannya, diakhiri dengan membaca mantera, “STUPIFY!!”

Anu yang tersebut di atas berarti tongkatnya.

Si Untung ngunyah sirih, si Bambang makan kolak. Untung tak dapat diraih, malang tak dapat ditolak. Alih-alih jadi rapi, rumah Upik Abu jadi berantakan tak beraturan. Upik Abu kaget. Dia mendengus hingga keluar ingus dan mendelik tajam penduh dendam ke arah wanita itu. Baru saja Upik Abu akan memakinya karena membuat pekerjaannya kacau-balau.

Namun sebelum berkata apapun, wanita itu menenangkannya, “Aduuh maaf ya, Pipi! Salah mantera!”

“A-apa kamu bilang barusan?” tanya Upik Abu.

“Yang mana?” tanya balik sang wanita misterius.

“Yang barrru saja kamu katakan!”

“Euuh... ‘Salah mantera’?” jawabnya ragu.

“Bukaaan!! Sebelumnya?” tanya Upik Abu lagi.

“Hmmm... ‘Aduuh maaf ya, Pipi’?” jawabnya lagi.

“Iya itu!! Pipi!!! D-darimana kau tahu namaku?” tanya Upik Abu terkagum-kagum. “Panggilan itu kan hanya kuperoleh dari ayahku saja!”

Dalam hatinya ia bertanya-tanya apakah si wanita misterius itu sakti sehingga mengetahui namanya, ataukah ia yang memang benar-benar tenar. Sejenak, Upik Abu jadi GR.

“Kan aku sudah bilang, aku adalah Peri Baik hati. Tentu saja aku tahu namamu! Peuhliiissss!!” sahutnya.

“Baiklah karena kau tahu namaku, maka aku percaya bahwa kau adalah benar-benar peri!” Upik Abu mulai teryakinkan.

Karena identitas sang wanita misterius tersebut sudah jelas, maka mulai dari sekarang, mari kita sebut sang wanita dengan Peri Baik Hati.

“Kau tampak sedih, wahai Pipi. Mengapakah demikian adanya?” tanya Peri Baik Hati lembut.

Upik Abu pun mulai berkisah tentang kehidupannya yang selalu diperlakukan bagai babu. Padahal ibu tiri dan kedua kakak tirinya menumpang di rumahnya, tapi nyatanya mereka tak pernah baik padanya. Dan puncaknya adalah malam ini, dimana Upik Abu dibiarkan sendiri, sementara mereka bersenang-senang.

Peri Baik Hati manggut-manggut memahami arti setiap kata yang membuncah dari mulut Upik Abu.

“Padahal kan siapa tahu aku bisa berjodoh sama Pangeran!” sahut Upik Abu penuh harap.

“Jangan sediiihh!!! Kau bisa kuberangkatkan ke istana sekarang juga. Dan bukan hanya itu. Kau akan kubuat menjadi tamu paling aduhai di sana!” seru Peri Baik Hati percaya diri.

“T-tapi bagaimana caranya? Meninggalkan rumah saja aku sulit. Bagaimana aku bisa sampai ke istana, pake dandan pula?!” tanya Upik Abu setengah memaksa, sembari mengguncang-guncangkan tubuh Peri Baik Hati.

Dalam hati, Peri Baik Hati merasa anak ini ngelunjak juga. Namun ini adalah keputusannya. Dia akan menolong remaja ini untuk bisa bahagia, barang semalam saja.

“Baiklah ini yang harus kamu lakukan! Kumpulkan barang-barang berikut ini!” Peri Baik Hati menyodorkan secarik kertas berisi barang-barang apa yang diperlukan.

1. Baju bekas

2. Sepatu bekas

3. Buah apa saja

4. Hewan apa saja, total 3 ekor

5. Deterjen dan pewangi

6. Telur sekilo

7. Cabe seperapat

Sampai nomor lima, Upik Abu bingung. “Ini nomor lima ke bawah buat apa ya, Per?”

Peri Baik Hati membaca daftar yang tadi diberikannya kepada Upik Abu.

“Oooh... maaf, dari nomor lima ke bawah, itu tak usah kau hiraukan. Itu daftar belanjaan saya!”

Tak berapa lama, semua barang telah terkumpul. Buah yang ditemukan Upik Abu adalah buah Duren. Disulapnya buah itu menjadi mobil. Lalu hewan yang berhasil dikumpulkannya adalah kucing garong yang biasa nyolong di rumahnya, dan dua ekor ikan cupang peliharaannya. Diubahnya kedua ikan cupang itu menjadi supir dan pembuka pintu. Sementara kucing garong menjadi bodyguard-nya.

Upik Abu menemukan baju bekas yang sudah lama tak digunakannya, bahkan sudah dijadikan topo. Disulapnya baju bekas itu menjadi gaun yang memesona.

Alih-alih sepatu bekas, Upik Abu hanya menemukan sepasang bakiak di belakang rumah. Karena kalau ketahuan memakai sepatu ibu atau kakaknya, bisa gawat urusannya. Bakiak buruk rupa itu disulap oleh Peri Baik hati menjadi sepatu berbahan kaca.

Upik Abu pun mencoba gaun dan sepatunya.

“Iiiih pas beengeuuut gaunnya. Tapi sepatunya kok rada bikin lecet, ya?”

Beauty is pain, honey!”

Setelah semua perangkat kostumnya dicoba, saatnya melakukan sentuhan akhir. Peri baik Hati mengacungkan tongkatnya, memutar-mutarkannya kecil-kecil ke arah Upik Abu, dan menghentakkannya sembari mengucap mantera, “BEAUTIFY!!!”

Voila (kalau dalam bahasa lokal-nya sih ‘eng ing eeeng’)!! Seketika itu pula Upik Abu diubah menjadi cantik-molek, plus semok-montok.

Upik Abu berubah menjadi gadis yang sangat cantik.

“Kalau seperti ini sih, dijamin semua mata akan tertuju padamu, Pi” seru Peri Baik Hati bangga.

“Ih Peri bisa aja! Emangnya puteri Indonesia!!” sahut Upik Abu sembari terkikik senang.

Tak berapa lama, Upik Abu sudah bersiap untuk pergi dengan kendaraannya, supir, pembuka pintu, lengkap dengan bodyguard. Sebelum Upik Abu benar-benar pergi, Peri Baik Hati memberikan beberapa pesan untuknya.

“Ingat ya, kamu harus pulang sebelum jam 12 malam!” katanya sungguh-sungguh.

“Kenapa? Ini bahkan sudah jam setengah sebelas!” tanya Upik Abu kecewa.

“Karena peraturannya seperti itu.”

Upik Abu manggut-manggut dengan dahi berkerut.

“Yang kedua, kamu harus eksis di setiap kesempatan. Karena kamu hanya memiliki satu setengah jam, kurang bahkan! Jadi kamu harus menggunakannya secara maksimal. Buatlah sang pangeran terpaku pada kecantikanmu. Dan jadilah mantu Raja!”

Upik Abu semakin termotivasi. “Apakah kau bisa memastikan bahwa Pangeran akan jatuh hati padaku?”

“Begini saja, aku Peri Baik Hati dengan percaya diri berjanji, bahwasanya apabila Pangeran tak menaruh hati padamu wahai Upik Abu, maka aku akan mengabdikan diri menjadi pembantumu!”

Kesepakatan pun tercipta. Pergilah Upik Abu dengan wajah ceria.

@@@

Belum pun jam 12 teng, namun suara kendaraan sudah terdengar dari luar rumah Upik Abu. Peri Baik Hati yang sedang santai, bergegas menghampiri arah datangnya suara.

Terlihatlah mobil yang tadi disulap dari buah duren dan segala tetek bengeknya.

“Loh kok kamu sudah pulang lagi, Pi?” tanya Peri Baik Hati sembari tergopoh-gopoh menghampirinya. “Ada apa?”

“Aku tak akan bisa merebut hati Pangeran, Per!” jawab Upik Abu sedih.

“Mengapa? Kok kamu pesimis gitu sih?! Kamu kan sudah kuubah menjadi perempuan paling cantik di pesta itu. Bahkan di seluruh desa ini!” Peri terheran-heran.

“Deeuh, plis deh, percaya! Tak mungkin dia menaruh hati padaku, Per!” sahut Upik Abu ngotot bin nyolot untung tidak bolot.

“Katakan padaku, mengapa? Mengapa kau sangat yakin bahwa Pangeran takkan jatuh hati padamu?!” Peri Baik Hati makin panik. Ia mengingat-ingat mantera apa yang kurang. Tapi nampaknya semuanya sudah sesuai takaran kok.

Upik ABu menatap mata Peri Baik Hati lekat-lekat. “Tao ga seeh? Si Pangeran itu umurnya baru 7 tahun, cyiin! Menurut L?” sahut Upik Abu sembaru jari-jarinya membentuk huruf L dan menaruhnya di dahinya.

“Loh, kenapa kamu tak bilang dari awal? Memangnya kamu tak tahu Raja dan Pangeranmu sendiri? Makanya jadi orang yang gaul doong!”

“Bagaimana aku bisa gaul?! Wong setiap hari kerjaannya jadi babu! Peuhliiiiss!!” sahut Upik Abu keki. Dalam hati dia merasa kesal karena tak bisa meraih hati Pangeran. Namun dibalik itu, ia sangat bahagia tiada tara, mengingat perjanjian yang telah mereka buat sebelumnya.

Terngiang-ngiang suara Peri Baik Hati sebelum Upik Abu pergi ke istana: “Begini saja.. ja.. ja, aku Peri Baik Hati ... ti... ti...dengan percaya diri berjanji... ji... ji, bahwasanya apabila Pangeran tak menaruh hati padamu wahai Upik Abu... bu... bu, maka aku akan mengabdikan diri menjadi pembantumu... mu... mu... mu... muu!”

Peri Baik Hati frustasi. Dia harus menaati perjanjian yang telah dibuat dengan sepenuh hati. Tugas pertamanya sebagai babu sudah menanti. Setumpuk baju sudah tak sabar ingin dicuci.

Upik Abu yang malang namun kadang jalang

 

Pink Girlz Blogger Template | Blogger Clicks Design