My Profile

My photo
Jakarta and Bandung, Indonesia
Just an engineer who loves what she does and does what she loves (engineering stuffs not included)

My Time

My Living Room


ShoutMix chat widget

Who Visit Me

Kasih Makan Ikan Saya yaa!!

My Followers

Sunday, May 30, 2010

Reviewer's Slasher

Yoga membuka matanya. Awalnya gelap, namun lama-lama ia bisa mencerna dimana ia berada. Tepat di depannya teronggok seperangkat alat mixer. Bukan alat pengocok bahan-bahan pembuat kue, melainkan alat yang selalu ada di semua studio radio atau studio rekaman.

Alat pendingin ruangan distel pada suhu 16 derajat celcius, membuatnya bergidig kedinginan hingga buah zakarnya mengerut. Terlebih lagi sepanjang bagian belakang tubuhnya, mulai dari tengkuk, punggung, pantat, hingga paha yang menempel pada kursi berbahan kulit sintetis licin mengilat. Tangannya diikat di belakang kursi. Kedua kakinya dililit satu sama lain. Ikatannya kuat, menggunakan kabel berdiameter kecil tapi panjang. Tak ada sehelai pun baju yang melekat di badannya. Ia berusaha membuang jauh-jauh pikiran tentang apa yang mungkin terjadi padanya saat ia tak sadarkan diri barusan, mengingat kondisinya yang telanjang bulat. Suasana sunyi. Yang bisa tertangkap oleh telinganya hanya suara desiran udara yang berhembus dari AC dan degup jantungnya sendiri.

Ia mencoba menyatukan memorinya. Hal terakhir yang diingatnya adalah ia keluar dari kantornya, sebuah kantor redaksi majalah bertema musik paling ternama. Yoga adalah editor senior di sana. Ia pun memiliki kolom tersendiri yang berisi ulasan mengenai album-album musik yang baru keluar. Sekitar pukul 2 dini hari, ia baru menuntaskan pekerjaannya dan baru akan membuka pintu mobilnya, ketika seorang pria menghampirinya. Pria itu berpotongan rambut asimetris, poninya menusuk-nusuk mata, dengan jins superketat dilengkapi rantai kecil yang menghiasi bagian pinggangnya. Yoga nampak pernah melihat wajah itu sebelumnya, tapi ia tak bisa mengingatnya.

“Heh!” seru pria itu sembari mendekatinya.

Yoga bingung, “Ada apa, Mas?” ia berusaha sopan.

“Review lo, nih! Sampah!” bentaknya sambil melempar sebuah majalah ke mukanya. Majalah yang dikerjakan oleh Yoga dan seluruh tim-nya untuk edisi bulan lalu.

“Heh, Mas! Kalau ada perlu, yang sopan dong! Ga pernah diajarin ya?” Yoga mulai naik pitam karena merasa pria itu tak beretika sama sekali.

“Anjing lo!” seru pria itu geram seraya melayangkan kepalan tangannya yang dibaluti sarung tangan dengan hiasan duri-duri sangar ke arah Yoga.

Lalu semuanya gelap. Setelah itu tak ada lagi yang melekat di ingatan Yoga. Rupanya kepalan tangan pria itu mendarat tepat di daerah leher di bawah dagu Yoga, sukses membuatnya yang sedang kelelahan itu langsung tumbang.

Kesadarannya kembali lagi ke ruangan dimana ia berada sekarang.

‘Ngiiiik…’ suara derit pintu yang terbuat dari bahan kaca tebal terdengar oleh Yoga. Sekarang Yoga tak lagi sendirian, seseorang memasuki ruangan itu. Pria yang sama yang menghampiri Yoga sebelumnya. Yoga bisa merasakan sesuatu yang tak baik akan menimpanya.

“Eh... mau apa lo? Apa-apaan nih? Kenapa gue di sini?” tanya Yoga memberanikan diri sembari menggeliat-geliat agar terlepas sedikit dari ikatannya. Tapi hasilnya nihil. Lilitan itu terlalu kencang. Lidahnya kaku, sekaku sekujur tubuhnya.

Pria itu enggan basa-basi. Ia hanya ingin menyiksa Yoga sebagaimana ia telah menyiksanya melalui ulasannya yang tajam mengenai albumnya bersama band-nya yang baru saja dikeluarkan ke pasaran.

Keadaan tegang mendesak Yoga untuk memutar otaknya, guna mengingat siapakah orang ini. Namun percuma. Sebagai seorang jurnalis, Yoga telah bertemu banyak orang. Kalau ia tak mengingatnya, berarti orang itu bukanlah orang penting baginya.

Pria itu menghampiri mixer dan menyetel sebuah musik keras-keras hingga menggetarkan seluruh ruangan. Mengalun lah musik bernuansa melayu dengan nada minor sendu dilengkapi suara vokalisnya yang meliak-liuk sok-merdu. Itu adalah lagu dari band si pria yang merasa terhina akan ulasan Yoga di majalahnya. Ia membawa majalah itu di tangannya, membukanya pada suatu halaman, dan membaca beberapa bagiannya dengan lantang. Suaranya balapan dengan suara musik.

“Lirik yang jauh dari puitis, dengan pembawaan dramatis, membuat album ini seperti karya Shakespeare saat ia dalam kondisi kritis dan tak lagi bisa berpikir romantis.”

“Skill yang pas-pasan memang pas sekali dipadankan dengan nada yang pas untuk diperdengarkan pada seorang pemain sinetron yang tak bisa mengeluarkan air mata saat adegan menangis. Bukan karena lagu-lagunya bernuansa sedih, akan tetapi karena album ini memang menyedihkan.”

“Mendengar seluruh isi album ini tak lebih menghibur dibandingkan dengan nonton sidang anggota DPR yang lebih mirip komedi situasi yang tak lucu.”

Yoga hapal betul setiap kalimat dalam tulisan itu. Karena itu adalah hasil pemikirannya.

Pria itu mendengus kesal tetapi napasnya diatur sedemikian sehingga ia nampak sabar dan tenang. Ia meletakkan majalah itu di meja dengan kondisi halaman ‘Review Album Baru’ terbuka. Ia mengeluarkan secarik kain tebal dari saku belakangnya dan menyumpal mulut Yoga lalu meraih earphone yang terletak dekat dengan mixer.

"Coba lo denger lagi, hei tukang kritik! Bagian mana dari musik gue yang menurut lo ga bagus?" serunya sembari memasangkan earphone pada telinga Yoga. Yoga mencoba melawan, namun sia-sia belaka.

"Supaya lo bisa jelas mengerti musik gue, lo harus ngedengerin dengan seksama, bung!" Pria itu memutar volumenya hingga pol.

Musik bernuansa melayu itu menjalari rongga telinganya secara paksa sampai akhirnya menggetarkan gendang telinga... hingga pecah dan darah segar keluar dari sana. Yoga pun tak sadarkan diri.

Sekitar 40 menit kemudian, Yoga tersadarkan kembali untuk kedua kalinya. Telinganya tak dapat mendengar apapun. Kepalanya terasa pusing. Ia tak melihat siapapun di sana. Tentu saja, karena sekarang pria itu berada di belakang Yoga. Digenggamnya dengan erat sebilah pisau tajam yang biasa ia gunakan untuk membelah duren. Pisau itu telah diasah agar menjadi sangat tajam, setajam ulasan orang yang duduk lunglai di hadapannya.

“Lo kira tulisan lo paling bagus sedunia, hah?!” gumamnya. “Lo salah besar, bung! Sekarang biar lo tau gimana rasanya ga bisa lagi menghasilkan masterpiece dari jari-jari lo yang menjijikan ini!”

Tentu saja Yoga tak dapat mendengar gumamannya. Tangan kiri pria itu memegang erat jari kelingking tangan kanan Yoga. Yoga bisa merasakan jari kelingkingnya disentuh. Namun ia tak bisa menolaknya. Ia hanya bisa merintih yang tak terdengar. Dalam sekali tebasan, jari itu putus. Diikuti teriakan Yoga yang terhalang keluar dari mulutnya oleh sumpalan kain. Teriakan serupa terdengar hingga sembilan kali lagi, mengiringi sembilan jari lainnya yang jatuh satu persatu ke lantai lengkap dengan cucuran darah segar. Semuanya gelap kembali bagi Yoga.

Beberapa saat kemudian, ia terbangun kembali. Entah Tuhan masih sayang atau justru terlalu tega padanya sehingga ia masih diberi kekuatan untuk sadar.

Sekarang pria itu berdiri di hadapan Yoga. Mereka berdua tersengal-sengal. Yang satu tersengal marah, yang lain ketakutan setengah mati... atau lebih tepatnya tujuh perdelapan mati.

Kain yang menyumpal mulutnya sudah tak ada. Walaupun demikian, Yoga tak sanggup berbicara, bahkan tak ada minat sedikitpun untuk mengeluarkan suara. Bernapas pun sudah cukup sulit baginya.

“Biar lo tahu, gimana susahnya nyanyi, bikin lagu, promosi, manggung sana-sini, keluar modal! Dan lo cuman bisa ngomong, Anjing!!” Yoga hanya bisa membaca gerak bibir pria itu tanpa tahu apa yang ia bicarakan. Yang ia bisa baca secara jelas adalah pada bagian 'anjing'.

Yoga tak melihat sebelumnya, tapi sekarang jelas ia melihat bahwa pria itu memegang sebilah gunting kain. Pria itu memaksa Yoga membuka mulutnya. Yoga serta merta bertahan terus untuk membungkam mulutnya. Tapi tak masalah. Dipaksakannya salah satu sisi tajam gunting itu masuk ke mulutnya, sehingga gunting itu mengapit pipinya melalui ujung bibir Yoga.

‘Kres!’ pipi sebelah kanan Yoga terbelah dengan sukses. Tak cukup sisi kanan, hal yang serupa dilakukan oleh pria itu pada pipi kirinya. ‘Kres!’.

Yoga tak sadarkan diri untuk kesekian kalinya... dan sampai beberapa saat kemudian, untuk terakhir kalinya.

Pria itu merobek halaman ‘Review Album Baru’ dari majalah yang sedari tadi teronggok di meja. Diremasnya halaman itu seraya membersihkan darah dari telapak tangannya, walaupun ia tahu darah itu tak akan bisa hilang hanya dengan mengelapnya dengan selembar kertas. Tapi ia puas.

4 comments:

jay said...

pertanyaan :
darimana situ tau bahwa kalo kedinginan, buah zakar laki2 akan mengkerut????

Anonymous said...

Gyahahaha.. ini cerita slasher tapi unsur lo-nya ada banget kayak mati 7/8. Haha.

Anw, ngeri juga cara nyuruh orang dengerin lagu sampe gendang telinganya pecah :-/

Kemarin pada ngabisin waktu berapa lama, Nyes? Mengingat cerita ini cukup panjang.

Terus fungsinya si laki telanjang apa ya? Gue kira buah zakarnya mau dipotong gitu..


Nia
mynameisnia.com

Muys said...

Tah eta jay, nyaho timana ti? hahaha

wah, bahaya oge si soleh kalo band2 sebangsa armada kaya gini kelakuannya hahaha

rahmathya a.k.a maknyes said...

@ Kang Jay : Itulah the power of riset, kang! hehe

@ Muy: hahahha kok tahu sih saya terinspirasi dari Kang Soleh Solihun? hihi

@ Nia: Itu telanjang biar makin tersixa ajya. Kalo orang mikirnya seksual thing, hahah gotcha!! Siksaannya cukup seputar organ2 yang menunjang dia untuk menulis doang bok!
Lebih lama pas alur mundur kok bo. Ini mah ga terlalu lama.

 

Pink Girlz Blogger Template | Blogger Clicks Design